Fitra Yadi

Nama Saya Fitra Yadi Malin Parmato, biasa dipanggil Malin. Sekarang mengajar di Pondok Pesantren Ma'arif As-Saadiyah Batu Nan Limo Koto Tangah Simalanggang keca...

Selengkapnya
Navigasi Web
WALAU KAMI SATU ALMAMATER NAMUN DULUNYA AKU DAN ISTRI TIDAK SALING MENGENAL
Lakuak Bunta Kacowali Canduang

WALAU KAMI SATU ALMAMATER NAMUN DULUNYA AKU DAN ISTRI TIDAK SALING MENGENAL

Hari itu Ahad 12 Januari 2020, kami dua kepala keluarga berangkat dari Sarilamak kecamatan Harau kabupaten Limapuluh Kota ke Canduang kabupaten Agam Sumatera Barat. Pukul 08.00 Wib. pagi kita bertolak dari rumah menggunakan mobil Suzuki Carry th 1986 milik ustazd Noviardi.Hari itu kita refresing mencari suasana berbeda, ingin merasakan sejenak kenikmatan hidup di alam yang masih perawan di parak (ladang) Kopi milik keluarga yang terletak di Lakuak Bunta, Kacowali, jorong Labuang, Canduang.Ustazd Noviardi menyetir mobil dan aku duduk di sebelahnya. Di belakang duduk istriku Zurhuriati bersama sepasang anak kami dan Suryani istri ustazd Noviardi bersama sepasang anaknya pula.Lakuak Bunta memang sesuai dengan namanya yang berarti lembah. Di sana sudah dibangun Mushalla beton ukuran 4 x 3 m sebagai tempat ibadah dilengkapi dengan jamban dan pancuran tempat mandi. Di tempat itu juga sudah dibangun Surau Kayu ukuran 8 x 7 m dilengkapi dapur dan pancuran kecil di belakangnya. Surau itu adalah tempat istirahat kita, tempat makan dan bercengkerama sambil menyangai daun kawa. Nah yang paling eksotis di sana adalah Air Terjun (Sarasah Tungga) yang turun dari tebing Batu.Ketika melewati Ponpes MTI Canduang, tempat saya dan istri mondok dulu, kita bercerita serba-serbi kenangan selama belajar di sana. Aku tamat di sini di kelas 7 tahun 2002 namun istriku ketika baru duduk di kelas 7 ia pindah ke Ponpes Madrasah Miftahul 'Ulumi Syari'ah (MMUS) V Suku Canduang dan mendapat Ijazah di sana.3 km berjalan, sampailah kita di Batu Tagak melewati Ponpes MMUS V Suku Canduang, istriku bercerita pula kenangan beberapa bulan belajar dan menamatkan pendidikan di sana.Lalu akupun mengingat-ingat kembali bagaimana dulu aku dan istri selama di Pondok, dulunya kami tidak saling mengenal. Aku mulai tahu dengan Izur setelah tamat pondok dan berinteraksi dengannya hanya beberapa kali saja.

Setelah menamatkan pendidikan di kelas Tujuh (setara dengan 3 Aliyah) Pondok Pesantren MTI Canduang tahun 2002 lalu, aku tidak menyambung kuliah namun mengabdikan diri dulu sebagai tenaga pengajar di almamater.Selain faktor ekonomi, aku juga merasa teramat sedih meninggalkan Canduang. Almarhum Buya H. Amran A. Somad Kepala program Tarbiyah MTI Canduang tahun 2002 memanggilku ke ruangannya. "Apa rencanamu tahun ini Fit? Mau kuliah atau bagaimana?" tanya beliau."Awak tidak kuliah buya, kalau boleh sama Buya awak minta izin di sini dulu, memperdalam ilmu kitab, mengulang lagi kelas tujuh" jawabku."Begini saja, sambil mengulang kaji, tolong juga mengajar di kelas satu ya, guru kita kurang, tahun ini banyak masalah di Pondok kita." saran beliau. Maka sejak tahun 2002 itu mengabdilah aku sebagai guru di Ponpes MTI Canduang Agam Sumatera Barat.Diantara sekian banyak guru-guru kami di MTI Canduang, ustazd Kamal (Hadinul Akmal) adalah salah seorang guru yang terbilang akrab denganku. Beliau juga akrab dengan murid-murid dan guru-guru lainnya. Bagi kami beliau sudah seumpama paman saja, sebagai orang tua atau juga sahabat.Ketika itu aku tinggal di Surau Baru Koto Tuo bersama beberapa orang anak siak (murid MTI Canduang) adik sekampung dari Tanah Datar, jaraknya 2 Km dari Pesantren. Karena jam belajar di MTI Canduang sampai pukul 17.00 Wib., untuk tempat istirahat siang kami pilih rumah orang tua ustazd Kamal yang terletak di depan MTI Canduang. Di rumah itu tinggal anak-anak siak yang pada umumnya sanak-famili ustazd Kamal seperti Zurhuriati (istriku) yang ketika itu sedang duduk di kelas tujuh (satu tingkat dibawahku). Ayah Izur adalah abangnya ustazd Kamal yang tinggal di pasar Sarilamak kec. Harau Kab. Limapuluh Kota.Di situlah kami ngumpul-ngumpul, mengobrol, makan siang. Ruangannya dibatas menjadi dua bagian, sebelah ke mudik untuk laki-laki dan sebelah hilir untuk perempuan. Di situ kami hanya bergaul dengan Anak Siak laki-laki saja, kami tidak begitu mengenal yang perempuan, namun ada beberapa orang diantara mereka yang aku tahu yaitu Izur.

Setahun kemudian, di bulan Mei tahun 2003 aku ada urusan di Ponpes Madrasah Miftahul Ulumi Syari'ah (MMUS) V Suku Canduang yang berjarak 3 Km di ponpes MTI Canduang. Ketika itu aku menemui ustazd Drs. Zarfini, beliau adalah kepala Aliyah MMUS dan juga ketua Lembaga Didikan Subuh (LDS) kecamatan Canduang sedangkan aku sebagai wakil ketua bidang pendidikan LDS kecamatan Canduang. Pagi itu kita berencana akan membuat surat mandat yang diperuntukkan bagi ustazd Anizul Aidi untuk mengembangkan LDS di nagari Lasi kecamatan Canduang.Aku jalan kaki dari tempat tinggalku Surau Baru Koto Tuo ke Ponpes MMUS, jaraknya hanya 1 km saja. Di Simpang Empat Batu Tagak sedang ramai santri, karena sedang pose pertama. Aku berjalan menuju kantor Tata Usaha, di depan kantor terdengar suara Izur menyapaku dari lantai dua. "Ustazd Dafit... Kemana Ustazd..." Aku menengadah keatas, nampaklah Izur, Misrina dan lain-lain berseragam putih rok abu-abu menepi berdiri berjejer bertelekan di pagar tembok. "Apakah ustazd juga mengajar di sini?" tanya Izur. Aku tersenyum gembira terus masuk ke kantor dengan perasaan berbunga-bunga. He he he he he Dari ustazd Zarfini aku dapat cerita bahwa dalam beberapa minggu ini banyak murid-murid MTI Canduang pindah ke Ponpes MMUS sebabnya adalah karena proses belajar mereka terganggu atas kekisruhan yang terjadi antara guru-guru dan pengurus yayasan MTI Canduang.

Tahun 2006 aku pindah rumah dari Koto Tuo menempati ruang kosong di lantai tiga gedung Ponpes MTI Canduang, setahun kemudian tahun 2007 aku pindah lagi ke Surau nek Timah Lonceng yang terletak di belakang rumah orang tua ustazd Kamal. Di rumah itu tidak ada lagi anak siak putra, hanya tinggal beberapa orang anak siak putri saja bersama nek Ajin dan antan Main, beliau adalah orang tua ustazd Kamal Kakek Izur setelah sekian lama meninggalkan kampung mencari hidup di Bukik Cakuah Sarilamak.Setiap hari saban waktu aku selalu duduk-duduk di rumah nek Ajin ngobrol dengan Antan Main serta ustazd Kamal dan lainnya. Aku makin kenal satu-persatu keluarga besarnya. Aku terus diajak berbaur oleh ustazd Kamal di acara-acara keluarganya seperti hajatan berdoa, baralek dan lain-lain.Aku sering nampak Izur di sana, ia rajin masak, mencuci dan beres-beres. Tidak pernah aku nampak Izur memakai rok, ia suka memakai celana jeans atau sport, celana training dengan baju kaos lengan panjang, jilbab bulat dan sendal gunung adalah ciri khasnya. Dengan tampilan begitu ia nampak tageh, jalannya cepat, gerakannya lincah.

Ketika usiaku menginjak 27 tahun, dimana cinta sedang membara, rindu sudah membumbung ke ubun-ubun, kebutuhan akan seorang pendamping hidup terasa sangat menggebu-gebu. Perhatianku amat tersita memikirkan tentang sosok calon tambatan hatiku kelak. Metode dakwah Habiburrahman El Shirazy melalui karya tulisnya sangat mempengaruhiku. Novelnya yang paling tenar ketika itu diantaranya; Ketika Cinta Berbuah Surga, Pudarnya Pesona Cleopatra, Ayat-Ayat Cinta, Di atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan Dalam Mihrab Cinta. Buku-buku yang kemudian difilmkan itu merubah persepsiku tentang cinta dan menginspirasiku tentang sosok seorang pendamping hidup.Diiringi lagu nasyid "Mencari Teman Sejati" hatiku bersenandung rindu "Aduhai kiranya datanglah engkau wahai bidadariku." Terbayanglah di pelupuk mata seorang gadis bergamis panjang datang memeluk Alquran, jilbabnya yang lebar melambai-lambai. Bajalan bak siganjo lalai, samuik dipijak indak mati alu tataruang patah tigo.Ketika mondok di Ma'had Tahfizdh Quran Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi aku pernah difasilitasi Ustazd Rajudin kepala sekolah di SD IT Cahyati Bukittinggi berta'aruf dengan seorang akhawat. Nurhayati Yusuf Iqbal namanya, ia dosen Psikologi di STAIN Syekh Djamil Djambek Bukittinggi. Satu bulan setelah Nazhar diputuskan bahwa kami tidaklah sesuai, memang tidak sekufu, ia S2 sedangkan aku, S1 ku belum selesai, he he he he.Sejak mengaji dengan ustazd Kamal tahun 2010 lalu aku sudah seumpama keluarga saja baginya. Apalagi setelah itu aku menambah kaji pula dengan Adang (Papanya Izur). Aku jadi sering ke rumah Izur di Sarilamak, kadang makan dan nginap juga di sana bersama teman-teman yang lain muridnya Adang. Bahkan kami juga ada kamar sendiri di sana tempat menginap orang bujang.Setelah mengaji dengan Adang, kami disebut sebagai anak ngaji Adang. Semua muridnya adalah saudara kami, sejak saat itu semua anak-anak Adang seperti Izur, Dewi, Hasbi, Afdhal dan lain-lain sudah aku pandang layaknya sebagai saudara sendiri.#5Ditulis oleh: Fitra Yadi, S.PdIdi SarilamakJum'at, 7 Februari 2020 H - 12 Jumadil Akhir 1441 H

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post