Fitra Yadi

Nama Saya Fitra Yadi Malin Parmato, biasa dipanggil Malin. Sekarang mengajar di Pondok Pesantren Ma'arif As-Saadiyah Batu Nan Limo Koto Tangah Simalanggang keca...

Selengkapnya
Navigasi Web
WALAU MASIH PERIH TERASA, NAMUN AKU SUDAH MEMAAFKAN PAK GURU MURSAL
Poto awal menjadi guru

WALAU MASIH PERIH TERASA, NAMUN AKU SUDAH MEMAAFKAN PAK GURU MURSAL

PUNGGUNGKU PERIH DIPUKUL PAK GURU MURSALKalau tidak salah ketika itu sore Selasa bulan November tahun 1994, kelas kami ada jadwal belajar ekstra kulikuler bidang studi Kaligrafi dengan bapak Ahmad Mursal (edited) seorang Mahasiswa IAIN IB Padang yang sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata) di nagari kami Sumanik kecamatan Salimpaung kebupaten Tanah Datar Sumatera Barat.Waktu itu kami belajar masih menempati gedung lama MTsN Sumanik, yaitu bekas gedung PGAN yang terletak di Balerong jorong Piliang Sani Sumanik. Kami duduk di kelas dua menempati lokal yang di tengah setentang lekukan leter L nya."Baiklah kita buka pelajaran Kaligrafi sore ini dengan membaca basmalah. Keluarkan buku gambar anda" kata pak Mursal mengawali jam belajar. Lalu beliau berkeliling menelisik hasil pekerjaan rumah (PR) kita masing-masing.Sampai di mejaku, ia marah melihat buku gambarku yang seukuran buku anak TK dengan tulisan kaligrafi berwarna-warni seperti pelangi. Ia kesal, lalu dielus-elusnya pundakku kemudian dipukul-pukulnya punggungku, awalnya lunak namun makin lama makin keras saja seraya berkata; "Puak-puak, gapuak indak badagiang" semprotnya. Aku tersedak mau menangis, mukaku sembab menahan amarah, punggungku terasa sangat perih. Ngeri-ngeri sedap rasanya. Peristiwa itu membuat aku shock, hingga terekam di alam bawah sadarku sampai bertahun-tahun kemudian bahwa beliau adalah seorang bengis penaik darah.Sangat bertolak-belakang dengan bapak Mulyadi rekannya, beliau guru bahasa Arab kami yang berkepribadian lunak, sejuk dan enak diajak bercanda. Demikian juga dengan ibu Hasnah beliau ramah, walaupun ia tidak pernah masuk kelas, namun kami tahu kalau ia aktif dalam kegiatan masyarakat. Perawakannya tinggi, putih, cantik serta terampil berceramah.

"Ibu-bapak, mohon maaf jangan tersinggung ya dengan apa yang saya sampaikan. Kami yang bicara di atas mimbar ini ibarat kereta api pak, buk yang berjalan diatas rel, bila ada yang talendo itu bukan salah kami, mengapa ia tegak berdiri menyelisihi yang haq ini". Demikian salah satu kutipan ceramah ibu Hasnah saat tampil memberi taushiyah di mushalla Baiturrahmat Longgoa Ateh dekat rumahku.Di acara perpisahan mahasiswa KKN itu diadakanlah acara muhasabah bersama HIRMAS (Himpunan Remaja Masjid) yang bertempat di lantai dua Masjid Jamik Sumanik. Di bahagian terakhir mereka membuat drama seakan-akan peserta acara menyalahi aturan, pak Mursal pura-pura bangun tidur, karena mendengar suara heboh ia keluar marah-marah sambil memungut kertas-kertas catatan yang bertuliskan potongan ayat-ayat Al-Quran. Lampu dimatikannya, seorang mahasiswi membaca al-Quran diterangi lampu senter untuk menenangkannya, diiringi dengan nasehat dan renungan dari rekan yang lain, kami diperintahkan pak Mursal untuk sujud beristighfar kepada Allah. Beliau mengingatkan kami akan neraka sebagai balasan atas dosa-dosa yang telah kita perbuat kepada Allah, kepada guru, kepada orang tua. Sehingga bergemuruhlah suara tangis peserta muhasabah mengisi seisi ruangan masjid itu. Aku tidak menangis sedikitpun karena dipengaruhi perasaan tidak senang dengan dirinya.

Dalam kegelapan tiba-tiba pak Mursal menendang pantatku, "tidur kamu ya, orang lain sudah menangis, kamu diam saja" bentak pak Mursal marah. Ketika itu aku memang benar-benar menangis dibuatnya, bukan karena nasehatnya melainkan karena tendangannya tepat mengenai b******ku. Waduh............. Pukul 04.30 Wib. Subuh lampu kembali dihidupkan, semua peserta muhasabah disuruh bangkit duduk kembali. Acara ditutup dengan bersalam-salaman. Aku tidak mau menyalami pak Mursal, aku marah. Di tempat berwuduk aku ditanyai kawan "adakah tadi kamu menangis?" "NDAK" jawabku ketus. He he he he he

Peristiwa itu membekas di hatiku, sampai tamat Madrasah Tsanawiyah ngilunya masih terasa-rasa. Kemudian aku menyambung pelajaran mondok di Ponpes MTI Canduang kabupaten Agam sampai kelas 7. Setiap pulang kampung aku sering juga teringat akan peristiwa itu, masih shock rasanya.

Tahun 2002 setamat dari Pondok aku mengabdikan diri mengajar di almamater, kemudian menyambung kuliah di STIT Ahlussunnah Bukittinggi. Sambil kuliah aku menekuni profesi sebagai guru agama di Madrasah tempat aku mondok dulu. Setelah menjadi guru barulah aku tahu bagaimana rasanya mendidik, dulu ketika menjadi murid aku mudah saja menyalahkan guru, sekarang barulah aku sadar, dibalik sikap kurang baik seorang guru mungkin ada latar belakangnya. Bisa jadi ia sedang sakit gigi, atau ia sedang sakit kepala atau mungkin juga sedang banyak masalah dengan keluarganya dan lain sebagainya.PAK MURSAL MENITIPKAN ANAKNYA KEPADAKU

Jam menunjukkan pukul 21.00 Wib. Bus baru berjalan melewati Jl. Pahlawan kota Pariaman. Sepuluh Bus Pariwisata konvoi dari pantai Gondariah Pariaman menuju Bukittinggi. Aku berada pada bus nomor enam. "Abi… Lili ngantuk" kata salah seorang muridku Lili Vatricia (16 tahun) merebahkan kepalanya ke sandaran kursi di bangku sebelahku di tengah lorong Bus. "Istirahat lah Lili, yang tadi jangan terlalu difikirkan, merusak hati saja. Bisa-bisa Allah tidak redha lo… nanti ujian nasionalnya gak dapat, karena redha Allah itu kan salah satunya terletak pada Redha kedua orang tua" jawabku menasehatinya, diamini pula olehDini, ustazd Ardi yang duduk disebelahku diam saja memperhatikan.Pagi itu Rabu 26 Februari 2014 santri-santri kelas empat Ponpes MTI Canduang berwisata ke Taman Satwa Kandi Kota Sawah Lunto, Terus ke Pantai Gandoriah Kota Pariaman, jalan-jalan ini adalah sebagai momen untuk bermaaf-maafan antara sesama santri dan juga guru dalam rangka menghadapi ujian nasional tanggal 3 Maret 2014. Sejak berangkat dari Canduang Lili selalu duduk bersebelahan denganku di lorong Bus. Hari ini ia puas, lepas hatinya bercerita-cerita curhat denganku. Kalau di Pondok waktunya terbatas karena aku sibuk mengajar dan mengurus kehumasan di sekretariat Ponpes MTI Canduang. Lili memanggilku "Abi" panggilan istimewa dibanding murid-murid lainnya yang sehari-hari memanggilku "ustazd". Aku dekat dengannya sejak tahun 2012 yang lalu ketika ia duduk di kelas dua Ponpes MTI Canduang. Aku begitu akrab dengannya, setiap hari ia menemuiku bercerita-cerita dan menyampaikan salam dari kedua orang tuanya. Setiap orang tuanya membezuk Lili ke Pondok, aku selalu diajak bertemu dengan mereka dan diakhiri dengan makan bersama. Kedua orang tuanya senang denganku dan berharap aku bisa selalu memperhatikan anaknya dalam belajar dan membimbingnya pergaulan sehari-hari. Ayah Lili sangat ramah orangnya, beliau ketika itu bekerja sebagai PNS di kantor Kemenag Solok, Ibunya mengajar di salah satu SMP IT di tepian danau Singkarak. Tahukah kawan-kawan siapa orang tua Lili? Ayahnya adalah Drs. Ahmad Mursal yang dulu memukul punggungku ketika ia KKN di Sumanik dan ibunya adalah Hasnah Mahasiswa KKN itu juga. Pak Mursal mungkin tidak ingat lagi siapa aku, tapi aku masih merasakan perih pukulannya di punggungku. Masih terasa-rasa ngilunya tendangannya tepat pada B****gku ketika acara muhasabah di Masjid Jamik Sumanik. Awalnya aku sempat terkejut bisa bertemu lagi dengannya di Ponpes MTI Canduang, dan alang terkejutnya aku setelah mengetahui kalau ia adalah adalah ayahnya Lili Vatricia salah seorang murid yang dekat denganku.

Waktu itu ia datang ke MTI Canduang mau bertemu putrinya Lili Vatricia, aku sedang duduk di ront office sebagai Humas dan bersikap standar menerima tamu sesuai dengan SOP yang ada.

Dari awal aku sudah menerka kalau beliau adalah Bapak Ahmad Mursal yang bengis penaik darah dimana dulu pernah memukul-mukul punggungku. Aku persilahkan ia duduk dan aku telisik sedikit profilnya, rupanya benar, beliau adalah pak Mursal. Lalu aku bangkitkan lagi ingatannya tentang program KKN-nya di kampungku dulu. Ia antusias sekali bercerita tentang Sumanik dan menanyakan beberapa nama tokoh masyarakat yang masih ia ingat.Tapi aku tidak menceritakan kesan burukku dengannya. Ketika itu ia kelihatan sangat berbeda sekali dibanding 19 tahun yang lalu ketika KKN di Sumanik. Ia tidak menanyakan peran aku ketika ia KKN itu, namun aku berupaya menggali-gali cerita tentang KKN itu. Kemudian aku bilang terus terang kesan kawan-kawan tentangnya, bahwa ketika itu ia adalah seorang bengis penaik darah. Pak Mursal membenarkannya, "memang, ketika itu ia banyak masalah, bertengkar dengan kawan-kawan dan masalah-masalah lainnya, sehingga terbawa perasaan ke yang lain" katanya.Lili anaknya sudah lama menceritakan tentang aku kepadanya, beliau berterimakasih sekali dan menitipkan anaknya kepadaku. Sejak itu sakit hatiku hilang, aku membangun hubungan baru lagi dengannya dengan suasana yang baru pula.

#7Ditulis oleh: Fitra Yadi, S.PdIdi SarilamakAhad, 9 Februari 2020 H - 14 Jumadil Akhir 1441 H

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post