Fitra Yadi

Nama Saya Fitra Yadi Malin Parmato, biasa dipanggil Malin. Sekarang mengajar di Pondok Pesantren Ma'arif As-Saadiyah Batu Nan Limo Koto Tangah Simalanggang keca...

Selengkapnya
Navigasi Web
KARENA NAKAL MURID INI DI DROP OUT, SETELAH TAHU BAGROUNNYA AKU JADI KASIHAN
Suasana pada jam istirahat di Ponpes Maarif Assaadiyah Batu Nan Limo

KARENA NAKAL MURID INI DI DROP OUT, SETELAH TAHU BAGROUNNYA AKU JADI KASIHAN

Tidak disangka, murid bandelku Anto (sebut saja namanya begitu) berubah menjadi sangat sesantun. Dua minggu yang lalu Sabtu, 25 Januari 2020 aku bertemu lagi dengannya dekat masjid tempat aku mengajar mengaji.Waktu di pondok dulu Anto adalah murid bandel, suka melawan guru, sering melanggar peraturan pondok mulai dari yang ringan sampai kepada yang berat, seperti; rambut melampaui batas, telat masuk ke lokal, merokok, lari malam dari asrama, main di warnet, mengintip santri putri mandi, tidur di loteng, makan di siang bulan Ramadan, mencuri sambal teman, membongkar lemari orang, wuih.. banyak sekali poin kesalahannya hingga kemudian ia disidang dan keluarlah keputusan DO (Drop Out).

Sering tanganku ini dipakai untuk menghukumnya, memukulnya dengan ikat pinggang, dengan rotan, menjewer telinganya dan pernah sekali aku menampar mulutnya karena berkata kotor kepada guru. Namun sekarang, saat bertemu denganku ia beda sekali, sangat santun, tidak ada rasa dendam tergambar di wajahnya."Pak Ustazd... !" Anto memanggilku.Aku perlambat laju sepeda motorku segera berhenti di tepi jalan raya, lalu melengong ke kiri dan kanan mencari sumber suara. "Sebentar ya nak" kataku kepada anak-anak yang aku bonceng.Seseorang menghampiriku dari sebelah kiri seraya mengacungkan tangan menyalamiku. Aku meraih tangannya memperhatikan siapa dia gerangan. "Oh Anto" ingatku. Dia adalah salah seorang muridku yang agak bandel di Pondok dulu. Sudah kelewat point lalu dipecat. "Bagaimana kabar Anto?" tanyaku."Alhamdulillah baik ustazd" jawabnya mencium tanganku."Anto dari mana? kok ada disini?" tanyaku lagi."Anto mau potong rambut ustazd, tapi tukang cukurnya ke belakang dulu memberi makan sapi" jawabnya menyibak-nyibak rambut gondrong menutupi wajahnya."Oh begitu, kita duduk-duduk dulu yuk maota-ota, sudah lama tidak berjumpa" kataku mengajak Anto ke kedai di seberang jalan.Anak-anak yang aku bonceng ini senang sekali berhenti di warung itu, mereka bisa berbelanja, mereka adalah murid-muridku, kakak-beradik, namanya Imam Tsaqafi kelas 4 SDIT dan Haya Qonita kelas 2 SDIT, kami baru selesai pendampingan privat belajar Tahfizd Qur'an Juz 1 dan Juz 30 dan yang ketiga adalah anakku Abdul Halim (5.5 th) masih belajar Iqra'. Tadi kita belajar di teras masjid Istiqomah Padang Ambacang Batu Balang kecamatan Harau kabupaten Limapuluh Kota. Biasanya setiap sore kita belajar di sana, aku jemput mereka ke rumah kemudian diantar lagi pulang. Tetapi kalau cuaca tidak bagus, kita belajar di rumahnya saja, 500 meter dari Masjid.Dengan sungkan Anto duduk di depanku."Anto masih nunggu tukang cukurnya kan?" tanyaku."Iya ustazd, tukang cukurnya belum datang" jawabnya."Bagaimana sekolah Anto jadinya? Terakhir ketemu, waktu itu Anto di DO (Drop Out) dari Pondok ya?" tanyaku."Iya ustazd" jawabnya."Terus sekarang apa aktifitas Anto?" tanyaku lagi sambil membarut-barut pundaknya."Anto sekarang beternak sapi ustazd, ada dua ekor sapi yang Anto pelihara sekarang, namun kemaren Anto ada mengurus Paket C, sekarang alhamdulillah sedang berlangsung" terangnya."Alhamdulillah, itu yang ustazd pikirkan, sayang Anto putus sekolah" kataku.Anto curhat kepadaku perihal kehidupannya, orang tuanya yang bercerai, susahnya biaya hidup sehingga hal itu membuat dia frustasi, nakal, melawan kepada guru, merokok dan melakukan perbuatan jelek lainnya untuk mengalihkan kegundahan hatinya. "Pantaslah orangtuanya tidak ada datang seorangpun perihal pemecatan Anto dari Pondok" pikirku.

Aku terbawa perasaan mendengar ceritanya. Ayahnya sudah menikah lagi, ia tinggal di Tanah Datar, sedangkan ibunya sudah punya suami baru pula dan tinggal di salah satu perumahan di Sarilamak Kab. Limapuluh Kota. Ia tidak bisa memilih harus tinggal di mana. Jikalau tinggal di tempat ayah, kurang nyaman dengan ibu tirinya, kalau tinggal bersama ibunya, rumahnya sempit, segan pula dengan papa barunya.. akhirnya ia tinggal di rumah nenek di Lintau menghidupi diri sendiri dengan bergembala sapi.

"Jadi begitu ya, senakal-nakalnya ia di Pondok, itu bukan tidak ada sebab, rupanya inilah baground latar belakangnya sehingga ia membuat-buat perangai mengalihkan kepedihan hatinya" gumamkan memikirkannya.#4Ditulis oleh: Fitra Yadi, S.PdIdi SarilamakKamis, 6 Februari 2020 H - 12 Jumadil Akhir 1441 H

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post