Fitra Yadi

Nama Saya Fitra Yadi Malin Parmato, biasa dipanggil Malin. Sekarang mengajar di Pondok Pesantren Ma'arif As-Saadiyah Batu Nan Limo Koto Tangah Simalanggang keca...

Selengkapnya
Navigasi Web
BAJU USANG SEPATU MENGANGA SAMPAI KEPADA BERUK PEMETIK KELAPA
http://foto2.data.kemdikbud.go.id/getImage/60729609/3.jpg

BAJU USANG SEPATU MENGANGA SAMPAI KEPADA BERUK PEMETIK KELAPA

Wahyu salah seorang muridku di Ponpes Maarif Assaadiyah Batu Nan limo Simalanggang Payakumbuh. Ia murid yang cerdas namun sering melanggar peraturan, ia sering pakai sandal, tidak memakai seragam sekolah, kadang ia tidak hadir belajar beberapa hari. Aku tanya perihalnya, tatkala istirahat belajar Wahyu menceritakannya panjang lebar tentang kehidupannya kepadaku. Ia ke sawah ke ladang membantu orang tuanya, telapak tangannya kasar pertanda sering memegang sabit dan cangkul, ia sangat berkekurangan sekali, kadang tidak ada ongkos untuk berangkat ke Pondok.

Aku teringat ketika dulu seusianya dulu, dimana aku saat itu dalam masa-masa ujian akhir kelas 3 MTsN Sumanik, kalau tidak salah di bulan Mei tahun 1996. Ujung jari-jari kaki ku basah dibasuh embun pagi yang melekat di rerumputan jalanan polak Ronge setiap berangkat ke sekolah. Sebabnya karena kedua ujung sepatuku menganga, jahitannya putus belum terganti. Sampai di Sekolah aku buka dulu sepatu itu untuk mengeringkan kaki. Sudah dua tahun aku memakai sepatu ini, tanggung membeli sepatu baru karena sekarang sudah berada di ujung tahun ajaran, yaitu bulan Mei tahun 1995. Sepatu ini adalah pemberian udo As Tuak Ukun 3 tahun yang lalu. Ketika itu orang tuaku tidak mampu membelikanku sepatu, mereka sedang banyak pengeluaran untuk biaya adik-adikku sekolah, udo As menghadiahkan sepatu kulit bekas pakainya itu kepadaku untuk dipakai ke sekolah.Celana panjang yang aku pakai ke sekolahpun sudah kusam, sempit, senteng, lipatan jahitan kakinya sudah dilepas untuk menyesuaikan dengan panjang kaki, baju putih lengan pendek itu juga telah lapuk dan kusut. Perasaan minder menggelayut menggerogoti diriku, malu dengan teman-teman, terlebih dengan cewek-cewek. Aku tidak seperti si Nas atau Reza yang begitu PDnya dengan cewek. Jauh di lubuk hati aku juga ingin seperti mereka yang dekat-dekat dengan teman-teman cewek. He he he he Bukan hanya aku kondisi ini juga terjadi pada teman-teman yang lain, baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan ada juga teman sekelas jahitan roknya melorot, dibiarkan saja dikepit-kepit malu tatkala berjalan di depan orang. Ada lagi teman prempuan yang susah menutupi panggulnya karena baju dan jilbabnya menjadi pendek digerus masa, pertumbuhan badannya tidak seimbang lagi dengan ukuran bajunya.Selain itu, yang membuat aku minder dengan teman-teman adalah status sosialku, pada masa itu aku bekerja sebagai tukang ambil kelapa menggunakan beruk (tukang ambiak karambia), namun demikian aku sangat menikmati pekerjaan ini.Aku punya Beruk di rumah, sepulang dari sekolah biasanya aku membawanya mencari kelapa. Bila mana orang mendengar bunyi Ganto (genta) yang tergantung di leher Beruk, itu sebagai pertanda bahwa Tukang Baruak siap mengambil kelapa. Bila mana tidak bertemu dengan kawan sekolah aku sangat menikmati sekali pekerjaan ini dan bercita-cita memiliki sepeda Unto (Onthel) sebagai kendaraan operasionalnya. Ha ha ha ha ha.

Seorang tukang Karambia mengayuh pelan Sepeda Untonya (Onthel) mendaki dari Tobiang Luwak mengarah ke Simpang Limo membawa kelapa bersama Beruknya. Sadagang Karambia ditarok di boncengan double standardnya, dan seekor Beruk bertengger duduk diatas kelapa yang dibawanya kadang-kadang Beruk itu berpegangan kepada tuannya yang begitu mantap mengayuh sepeda, aku suka sekali melihatnya.Terbayang alangkah senangnya bila aku mengayuh sepeda Unto, di batang sepeda terikat Sulo (mirip tombak), di belakang bertengger Beruk Gadang, di stang sepeda bergantung pula tas Buntiah berisi kain sarung, sajadah, air minum dan nasi sebungkus. Wuih...indahnya... Sezaman itu sudah bak mano pulo rasanya hidup seperti itu kawan... Kadang aku banyak mendapat buah kelapa sebagai upah. Sudah menjadi peraturan tidak tertulis di rumahku, bilamana sebelum sampai di rumah maka kelapa itu adalah milikku, bila sudah sampai di rumah maka itu menjadi milik orang tuaku, makanya sebelum sampai di rumah aku berusaha dulu keliling kampung menjual semua kelapa itu.Pernah juga Ibu Roza Witri (guru kesenianku) berlangganan membeli kelapaku, harganya Rp. 500 per butirnya. Bukan hanya kelapa, aku juga terima memetik Potai, Kuwini, Durian, Lansek dan Manggis. Upahnya beda-beda, ada yang diupah dengan persenan buah, dan ada juga yang diupah dengan uang puluhan ribu rupiah. Ketika itu di MTsN Sumanik, bukan aku saja yang berprofesi sebagai tukang petik kelapa, ada juga kawan lainnya yaitu Nedi Indra, kadang kami berdua berkongsi berdua, Beruknya memanjat Kelapa dan aku tukang kupas buahnya.

#8Ditulis oleh: Fitra Yadi, S.PdIdi SarilamakSenin, 10 Februari 2020 H - 16 Jumadil Akhir 1441 H

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post